Menampik Sekedar Showrooming
Fadjar Ari Dewanto/Coordinating Partner of Business Advisory Services
=====================================================================================================================
Kata “toko” pada judul di atas bisa diterjemahkan sebagai toko di dunia maya ataupun di dunia nyata. Namun dalam artikel kali ini saya hendak membahas bagaimana dapat menarik pelanggan untuk mengunjungi toko di dunia nyata yang sekarang ini dalam berhadapan dengan pesaingnya yang besar yaitu perdagangan online yang volumenya semakin hari semakin bertambah, sehingga beberapa retailer besar di Indonesia menutup gerai-gerai mereka karena sudah tidak menghasilkan keuntungan lagi.
Fenomena perdagangan online belakangan ini membentuk perilaku pelanggan yang baru, yang dikenal dengan showrooming. Ini adalah perilaku pelanggan dengan pembeli mengunjungi toko untuk memeriksa barang dagangan secara pribadi sebelum membeli barang secara online. Tanpa saya sadari tentang perilaku ini, saya sendiri mempraktekkannya waktu saya mau membeli sebuah lampu yang harganya jauh lebih murah dari harga di toko, namun saya tidak yakin dengan kualitas lampu tersebut. Sebagai pembeli saya pergi ke toko hanya untuk memastikan bahwa lampu tersebut terang nyalanya yang tentu saja hanya di toko offline saya bisa melihatnya, baru kemudian saya membelinya secara online.
Showrooming timbul karena pembelian secara online tidak dapat memuaskan keinginan pelanggan untuk melihat dan merasakan produk atau jasa yang akan dibeli – see and feel experience. Kelebihan belanja secara offline adalah pelanggan diyakinkan dengan pengalamannya melihat dan merasakan produk yang akan dibeli. Namun pengiriman cepat dan murah, pengembalian barang sangat cepat, dan layanan pelanggan yang seringkali lebih baik daripada yang ditemukan di toko, serta kompetisi harga yang dijamin kalahkan perdagangan offline, membuat fenomena showrooming ini ada.
Tentulah para retailer perlu memikirkan bagaimana mengatasi kondisi ini, bukan saja karena fenomena showrooming, namun juga investasi yang sudah demikian besarnya, serta potensi pasar yang tetap besar untuk orang belanja pada toko offline. Saya mengamati beberapa toko yang memiliki kiat tersendiri, untuk membuat pengunjung datang berbelanja di gerai mereka.
Pertama, desainlah gerai dengan disertai keahlian yang penuh empatik. Ketika seorang pelanggan datang ke gerai ritel sebagai showroom, apa yang mereka cari? Tampilan yang lebih baik pada barang dagangan, dan manfaat sentuhan dan nuansa – tetapi lebih banyak lagi, untuk keahlian yang dapat memandu pilihan mereka. Beberapa gerai yang menyediakan kosmetik di Jakarta, tidak hanya menjual produk komestika saja, namun mereka menyediakan ahli kosmetik, untuk berdiskusi, bahkan mempersilahkan pelanggan untuk mencobanya bersama sentuhan sang ahli. Pengalaman ini membuat pelanggan memang akan datang ke toko, sebab hal ini tidak akan didapatkan secara online. Terutama ketika pembelian dilakukan atas sesuatu yang benar-benar mereka pedulikan, mereka bersedia membayar ekstra untuk penasihat terpercaya yang membantu mereka membuat pilihan yang tepat. Jadi temukanlah pada gerai-gerai bagaimana menyediakan pengalaman yang simpatik bagi pelanggan.
Kedua, desainlah gerai untuk penyediaan solusi keseluruhan (one stop solutions). Ketika pelanggan membeli komputer baru, mereka mungkin juga membutuhkan perangkat dan periferal baru untuk mencapai apa yang mereka harapkan. Sepeda baru sering berarti helm, kunci, dan lampu baru. Mantel baru membutuhkan syal dan sarung tangan yang serasi. Terutama dalam kategori konsumen elektronik, di mana teknologi bergeser dengan kecepatan yang menyilaukan, pelanggan sering senang untuk mengurus pembelian ini sekaligus, secara langsung, bahkan jika itu berarti menghabiskan beberapa rupiah lebih banyak.
Untuk retailer, hal ini memiliki implikasi tidak hanya pada keahlian yang pelanggan butuhkan dalam pemecahan masalah, tetapi juga untuk produk yang ada dalam persediaan toko dan bagaimana produk ini ditampilkan. Ini berarti retailer perlu merancang toko yang berfungsi sebagai sumber solusi, baik sekarang dan di masa depan. Memerlukan keahlian staf toko, yang dapat menawarkan kepada pelanggan secara lengkap produk sekunder yang dibutuhkan, lebih dari hanya sekedar menggantung produk pada etalase yang dengan mudah dapat dijangkau. Rancang toko dengan fokus pada hasil yang dicari pelanggan, apakah itu transportasi yang lebih handal, hiburan yang lebih menarik, desain peralatan dapur yang menarik di ruang kecil dan menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi. Beberkan sistem produk dan layanan yang berfungsi membantu mereka untuk memberikan hasil tersebut, dan mereka akan memberi retailer imbalan untuk itu secara offline, daripada mencoba merekonstruksi semuanya untuk mereka sendiri secara online.
Ketiga, desain toko untuk komunitas, daya tarik ini biasanya didapatkan pada convinience store. Pengalaman saya dalam membantu klien retailer, adalah menambahkan pada toko mereka, wadah untuk komunitas-komunitas dalam masyarakat bisa berkumpul bersama, dan selalu datang kembali untuk bertemu. Lebih dari sekadar memenuhi kebutuhan emosional, belanja adalah bagian dari bagaimana kita membentuk identitas. Keputusan yang pelanggan ambil tentang bagaimana akan menghabiskan uang mereka adalah bagian dari cara mereka menampilkan diri kepada dunia. Tawarkan kepada pelanggan sebuah pengalaman yang memperdalam rasa identitas mereka dan mencerminkannya secara positif, dan retailer akan mendapatkan margin yang lebih tinggi.
Keempat, menawarkan produk unggulan yang tidak didapatkan secara online, untuk daya tarik pembeli datang ke toko. Contoh tentang hal ini adalah tulisan di Wall Street Journal tentang mengapa di Amerika pelanggan buah pisang tetap mendapatkan pisang dengan harga yang murah, sekalipun harga grosirnya sudah lebih mahal. Pisang adalah buah segar yang paling banyak dimakan di Amerika, dan banyak retailer yang enggan memberikan biaya yang lebih tinggi kepada pembeli. Hal ini karena bagi banyak supermarket dan toko, menjadikan pisang yang murah mendorong orang datang ke toko, karena pisanglah maka kebanyakan orang pergi ke toko untuk membelinya. Sebagian besar retailer menjual pisang dengan margin tipis atau terkadang tidak ada markup harga, yang berarti harga grosir yang lebih tinggi akan merugikan penjual yang belum mengunci harga dengan kontrak jangka panjang. Pisang adalah salah satu barang Whole Foods Market Inc yang mendapat potongan harga pada akhir tahun lalu setelah toko ini dibeli oleh Amazon.com Inc. pisang dijual masing-masing seharga 20 sen, atau 0,49 dolar Amerika satu pon, lebih murah dari harga grosir sebesar 0,53 dolar Amerika satu pon.
Upaya yang terakhir para retailer juga bisa menambahkan pemasaran secara online dan melakukan apa yang disebut “reverse showrooming.” Sebuah penelitian menunjukkan bahwa ancaman showrooming dianggap terlalu berlebihan. Penelitian ini meminta hampir 3.000 pengguna media sosial di Amerika Utara dan Inggris tentang kebiasaan belanja mereka, dan hanya 26% yang dilaporkan secara rutin terlibat dalam showrooming. Tetapi 41% mengatakan mereka mempraktekkan apa yang disebut dengan “reverse showrooming” —browsing online dan kemudian membeli di toko-toko.
Contohnya adalah Pinterest media sosial yang populer, adalah penggerak penjualan di dalam toko dengan 21% pengguna Pinterest dalam penelitian ini mengatakan bahwa mereka membeli barang di toko setelah memasang pin, mencabut, atau menyukainya, pada lapak Pinterest, dengan 36% pengguna di bawah usia 35 tahun mengatakan bahwa mereka telah melakukannya. Alih-alih merasa terancam oleh showrooming, retailer juga harus mempelajari jalur pelanggan mereka untuk membeli dan menggunakan wawasan yang diperoleh untuk mengasah upaya pemasaran online mereka.
Contoh lain untuk cerita sukses tentang reverse showrooming ini adalah kisah seorang pemilik restoran steak: Nusret Gokce atau dikenal dengan Salt Bae yang mengubah taburan garam menjadi terkenal di seluruh dunia. Gokce lahir di luar Istanbul pada tahun 1983, Gokce dibesarkan sebagai anak seorang penambang dengan empat saudara kandung. Pada usia 13, ia mulai bekerja berjam-jam magang di tukang daging lokal. Dia menghabiskan dekade berikutnya bekerja di restoran steak Turki dan pada tahun 2009, Gokce menuju ke Buenos Aires dalam sebuah misi untuk belajar lebih banyak tentang industri daging.
“Saya selalu berharap dan ingin membuka restoran,” kata Gokce kepada NBC News.
Pada tahun 2010, Gokce, saat itu berusia 27 tahun, akhirnya membuka sebuah restoran steak. Dia membuka restoran steak pertamanya, Nusr-Et di lingkungan Etiler di Istanbul, terdiri dari delapan meja dan 10 karyawan. Nusret Gokce menjadi bintang Salt Bae dimulai pada 7 Januari 2017, ketika dia memposting video 36 detik ke Instagram berjudul, “Ottoman Steak.” Dalam klip itu, Gokce melakukan gerakan tangannya, mengiris steak tulang dan berakhir dengan taburan garamnya yang sudah dipatenkan. Dalam 48 jam, videonya memiliki 2,4 juta viewer. Hingga saat ini, postingnya tersebut memiliki 16.154.893 viewer.
Hampir setahun setelah hari itu di bulan Januari, Gokce kini memiliki 13 restoran di seluruh dunia, dari Abu Dhabi hingga Miami, dan lebih dari 600 karyawan dan sudah tentu seluruh pelanggannya dilayani secara offline, setelah mereka menyaksikan tayangan video Gokce di dunia maya, sang Salt Bae.